Pages

Followers

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ISU GENDER PADA HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI DALAM KELUARGA

ISU GENDER PADA HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI DALAM KELUARGA

A. Penghambaan Istri pada Suami
Menurut Budhy Munawar-Rachman ada empat rahim kehidupan perempuan yang misoginis, yaitu rahim ibunya, rahim orang tuanya hingga menikah, rahim suaminya dalam rumah tangga yang tidak boleh ditinggalkan tanpa izinnya, dan rahim dalam kuburannya.
Eksetensi perempuan dalam rahim sang suami digambarkan Al-Ghazali dengan besarnya kekuasaan suami atas istri, Sehingga sang istri diumpamakan sebagai hamba sahaya milik suami, tawanan yang lemah dan tak berdaya. Dia wajib mentaati segala yang dia inginkan suami dari dirinya.
Hal ini diumpamakan seperti manusia sujud pada manusia, dan kitab yang meriwayatkan tentang hal ini hanya kitab As_Sunan dan Musnad, dan tidak terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Andai hadits tentang sujud tersebut sahih maka harus dipertimbangakn bahwa hadits tersebut turun karena adanya suatu peristiwa.
Ini menunjukkan bahwa hadits tentang sujud manusia kepada manusia adalah hadits da’if, yaitu hadits yang tidak sah menjadi landasan hukum, terlebih menjadi landasan normatif bagi segala tindakan yang subordinatif terhadap perempuan.
Persoalan sujud perempuan terhadap suaminya selalu dikaitkan dengan konsep ketaatan dan seringkali dihubungkan dengan dalil Al-Qur’an terutama QS. An-nisa : 34, dalam hal ini pandangan Amina Wadud kata Qanata beserta derivasinya termasuk sifat-sifat yang dipergunakan al-Qur’an untuk menyampaikan pesan-pesan moral, dalam konteks keseluruhan al-Qur’an kata ini biasanya digunakan untuk laki-laki maupun perempuan, untuk menyebut karakteristik atau kepribadian orang-orang yang beriman kepada Allah, yaitu taat kepada-Nya. Bukan menunjukkan ketaatan perempuan pada suaminya atau terhadap suaminya.
Kesalahpahaman memahami hadits ini bermula dari adanya penggesaran tujuan mukhatab atau sasarannya, yang berdasarkan latar belakangnya ditujukan untuk mereka yang menyembah sesama, tetapi dialihkan pada persoalan relasi suami istri yang sangat hirarkhis.

B. Kosep Nafkah dalam Hadits.
Nafkah merupakan hak istri atas suami atau kewajiban seorang suami atas istrinya. Dalam kajian fiqih konsep nafkah lebih banyak dikaitkan dengan keberadaan istri yang sedang menjalankan Masa iddah karena ditinggal suaminya baik secara hidup maupun mati. Dan ketika seorang istri nuzyuz dari pada ketika dalam kehidupan rumah tbangga yang harmonis dan bahagia. Keberadaan nafkah tidak terbatas ketika istri menjalankan peran saja melainkan juga atas istri yang telah bekerja di publik. Bahkan istri berhak menuntut penghargaan yang layak atas suaminya dalam hal pemeliharaan anak seperti menyusui.
Berbgai versi Hadits menujukkan adanya hak dan kewajiban dalam kehidupan rumah tangga. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istrinya dengan redaksi bermacam-macam namun pada intinya yakni pergaulan yang baik antara suami dan istri dalam rumah tangga.
Nafkah merupakan suatu bentuk pemberian atau derma seseorang atas orang lain dengan Tujuan yang baik. Memberikan nafkah merupakan suatu kebijakan, oleh karena itu yang dinafkahkan itu disarankan sesuatu yang baik atau yang lebih disukainya.
Penjelasan tentang nafkah dalam Al-Qur’an, tidak hanya berhubungan dengan suami istri saja, tapi juga menjelaskan hubungan kekerabatan seperti orang tua, anak dan orang lain seperti anak yatim.
Hadist tentang nafkah, menjelaskan kebutuhan minimal seorang istri atas tanggung jawab suaminya. Kebutuhan tersebut antara lain pakaian, makanan dan peruatan yang baik dengan tanpa memukul wajah serta menjelekkannya.
Oleh karena itu sujud sebagai tanda ketundukan dengan ditandai ketanah-tanah hanya ditujukan kepada tuhan semata.
Nafkah tersebut disesuaikan dengan kemampuan masinh-masing suami, dan isrti tidak boleh menuntut lebih dari apa yang dapat diberikan suami. Nafkah merupakan pemberian suami atas istri, ia adalah hak istri dan merupakan kewajiban suami atas istrinya, perkawinan merupakan salah satu sebab adanya nafkah dalam kehidupan rumah tangga.
Kewajiban tersebut tetap melekat pada suami walaupun istri mempunyai gajih sendiri sebagai upah bekerja diluar rumah.
Apabila istri bekerja maka hasil yang didapatkan merupakan hak istri, kecuali jika ada kesepakatan antara mereka berdua. Tidak ada seorang pun dapat memintanya meskipun walaupun itu suminya sendiri, ayah kandung maupun anaknya.
Dalam konteks sekarang,masalah nafkah banyak dipersoalkan dalam kehidupan rumah tangga, manakala nafkah dijadikan tameng adanya kekerasan dalam rumah tangga. Krisis moneter dengan banyaknya pekerja diPHK, sehingga kehidupan rumah tangga akan terganggu karena permasalahan nafkah yang diberikan suami. Dan seharusnya ada komunikasi diantara mereka berdua, nafkah pada dasarnya memang tanggung jawab suami, namun jika keadaan berkata lain maka tentu kewajiban tersebut tidak dapat dipaksakan dengan sendirinya.
C. Otonomi Perempuan Dalam Beribadah
Islam secara ideal membuka kesempatan dan peran yang sama laki-laki dan perempuan untuk berprestasi dalam berbagai bidang lapangan kehidupan. Tapi pandangan islam yang egaliter telah mengusiknya dengan menempatkan laki-laki dan perempuan secara diskriminatif, yang disebabkan karena saratnya pemahaman dengan paradigm patriarkhi terhadap nas-nas Al-Qur’an maupun hadits Nabi , yang secara perlahan mengantarkan kepada pandangan misoginis, salah satu pemahaman hadits nabi dari pandangan ini adalah seorang perempuan muslimah tidak diperkenankan puasa sunah tanpa izin suaminya.
Pemahaman seperti ini bertentangan dengan prinip otonomi seseorang dalam perbuatannya. Otonomi yang dimiliki seorang perempuan dapat melakukan ibadah apapun tanpa izin dari orang lain, bahkan dari suaminya.
Namun dalam pandangan ulama Fiqh, puasa sunah ini dianjurkan untuj dilakukan setiap muslim dan muslimat, tapi bagi seorang muslimah yang memiliki suami salah satu syarat puasa sunahnya harus mendapat izin dari suami.
Banyak hadits lain yang mendukung hadits tentang larangan atas perempuan untuk melakukan puasa sunah tanpa izin suaminya, begitu juga dengan sanadnya berkualitas marfu dan bersambung hingga Rasulullah SAW.
Secara harfiah hadits-hadits yang telah disebutkan memberikan pengertian bahwa seorang istri yang mau melakukan puasa sunah, tatkala suaminya ada dirumah, diharuskan meminta izin kepada suaminya. Berdasarkan pemahaman ini mayoritas ulama klasik berpendapat bahwa ketika suami ada dirumah haram hukumnya seorang istri berpuasa sunah. Nilai puasa yang semula berpahala menjadi berdosa ini karena jika istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa diberi hak “pelayanan”.
Menurut An-Nawawi seorang istri dalam situasi apa pun harus siap untuk memberikan pelayanan kepada suaminya. Karena apabila ia melakukan perbuatan yang bernilai sunah, maka suami yang harus didahulukan, karena pelayanan kepada suami hukumnya wajib dan tidak dapat dikalahkan dengan perbuatan sunah.
Memperhatikan makna hadits sebagai mana diebutkan sebelumnya seolah tidak sejalan dengan prinsip otonomi dalam ibadah yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Berkenaan dengan hal ini apakah seorang istri ketika ingin melakukan kebaikan masih memerlukan izin suaminya. Bukankah dengan hak otonominya seorrang istri dapat melakukan kebaikan apapun sepanjang tidak merugikan orang lain.
Memfungsikam hadits yang jelas sahih lebih baik dari pada tidak memfungsikanya, tapi kita harus mengkomposisikan hadits yang tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-qur’an ini benar-benar fungsional sebagai satu hadits yang rasional dan karenanya sejalan dengan prinsip-prinsip yang dibangun Al-Qur’an, yaitu dengan langkah-langkah beerikut :
1. Membaca hadits secara komprehensif mencari makna alternative.
Yaitu bersikap lebih cermat dalam menghadapi hadits nabi untuk menghindari persepsi yang apriori yang dicirikan dengan pemahaman yang harfiah dan girid terhadap hadits nabi dan ujung-ujungnya menampakkan wajah islam yang tak ramah. Karena Pada umumnya Pemahaman terhadap suatu hadits dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya.
2. Mencari alternative pemaknaan.
Menurut para pakar hadits, apabila suatu hadits Nampak bertentangan dengan ayat al-Qur’an, maka ada tigga sebab yang terjadi, yaitu :
- Dipastikan bahwa hadits tersebut tiidak sahih
- Adanya pemahaman yang kurang tepat yang mengakibatkan sebab.
- Adanya pertentangan antara semua hadits dengan al-Qur’an.
Untuk menghilangkan pertentangan tersebut, maka harus membaca kembali hadits ini secara komprehensif dengan tahapan yang dapat ditempuh sebagai berikut:
• Memposisikan hadits sebagai pejelas Al-Qur’an.
• Mengupayakan penghimpunan hadits-hadits yang dapat dijalinkan dalam satu kesatuan tema.
• Memastikan antara memahami hadits secara tekstual atau kontekstual.

D. Istri Dilarang Bermuka Masam di Depan suami
Ada beberapa penyebab perempuan termarginalisasi dalam hampir sejarah muslim dan sebagai penyebab mundurnya islam hampir disegala aspek kehidupan, yaitu struktur masyarakat yang partikal, kekuasaan, nilai budaya yang merasuk ke dalam ajaran islam, menggunakan metode penafsiran atomistic seperti Amina Wadud Muhsin. dan pemahaman nas yang murni pendekatan norma agama mengabaikan bantuan ilmu lain, seperti antropologi, sosiologi, arkeologi, dan lainnya.
Selain itu hadits nabi juga terkesan berperan dalam memarginalkan peran perempuan tersebut. Misalnya perempuan (istri) wajib meladeni keinginan (nafsu) suaminya meskipun istri tidak menginginkannya ; bahwa kewajiban pokok istri adalah mengurusi suami dan rumah tangga dan bahwa ciri istri yang baik adalah istri yang dapat menyenangkan dan patuh kepada suami, dapat menjaga harga diri dan harga diri dan harta kekayaan suami.
berdasarkan hadits-hadits yang membahas tentang hal ini adalah hadits yang pearwinya Abu Hurairah dan mu’awiyah, namun hadits ini tidak terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dan kitab Sahih Muslim.
Selain itu, sunah pada hakekatnya bukan ungakapan kata atau kalimatnya yang persis berasal dari rasulullah tetapi makna dari ungkapan (teks) hadits, oleh karena itu hadits boleh saja dibuat atau bersumber dari sahabat, tapi isinya memang berasal dari dari Rasulullah.
Oleh karena itu hadits ini tidak termasuk hadits sahih karena perlu diragukan otensitasnya dari segi matan dan sanad perawinya.
Bentuk Musafir laki-laki dan hadits dalam memarginalkan perempuan, telihat pada bentuk pemahaman yang berbeda berupa informasi untuk perempuan agar patuh kepada Allah dan memelihara dirinya agar menjadi wanita yang saleh, yang juga berlaku untuk laki-laki untuk menjadi muslim yang saleh. Bentuk lain yang juga memarginalkan perempuan yaitu tentang sejarah yang menyebabkan turunnya suatu hadits, misalnya anggapan kurangnya akal perempuan, dimana pada waktu itu kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan terbatas, sehingga perempuan kurang cerdas. Dengan demikian bukan karena fitrahnya kurang cerdas, tapi karena kesempatan yang terbatas.
Begitu juga dengan hadits tentang bermuka masam ini sesungguhnya hanya dijawab terhadap suatu kasus tertentu. Yang boleh jadi istrinya cemberut terus-menerus didepan suaminya, dan kemudian suaminya mengadu kepada Rasulullah.
Sesungguhnya istri dianjurkan untuk senantiasa menyenangkan suami, dan pada prinsipnya sama dengan anjuran agar suami juga senantiasa menyenangakan istri. (al-nisa :19). Artinya saling menyenangkan. Tapi faktanya hadits untuk menyenagkan suami lebih mendapat penekanan dan perhatian, bahkan berkesan memaksakan.
E. Istri Dilarang Meminta Cerai Kepada Suami
Larangan istri meminta cerai hanya berlaku jika permintaan cerai itu dilakukan tanpa ada alasan yang dibenarkan syar’I. alasan-alasan meminta cerai yang dapat dibenarkan itu misalnya suami tidak mau memberikan nafkah lahir atau tidak mampu memberikan nafkah batin karena impoten atau suami selingkuh, pemabuk, penjudi dan takut berbuat kekufuran kepada suami karena takut kepada Allah dan sebagainya. Dengan demikian jika memang ada alasan syar’I maka istri diberikan hak untuk meminta cerai (khulu) kepada suaminya.
Menurut Sayyid-as Sabiq, ada dua alasan istri boleh menuntut cerai kapada suaminya, yaitu ‘uyub al-khalqiyyahI (cacat tubuh) dan su’u al-khuluqiyyah (cacat moral).
Namun meski pun bisa dibenarkan menuntut cerai, tapi barang kali tidak etis (moral) jika seorang istri menuntut cerai kepada suami, begitu pun sebaliknya, misalnya kasus seorang suami yang tadinya tidak cacat lalu karena kecelakaan ia menjadi cacat seumur hidup seperti pincang, buta dan sebagainya. Disini justru kesetian, kesabaran, dan ketabahan teruji dan tampak.
Adapun cerai khulu (cerai rebus) bentuk penghargaan islam terhadap kaum perempuan, Karena pada zaman zahiliyah perempuan tidak punya hak menuntut mecerai kepada suaminya, kecuali wanita tertentu saja. Khulu (talak tebus) arti harfiahnya adalah pelepasan pakaian, karena suami adalah pakian bagi istri dan sebaliknya.
Kebolehan khulu ini secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya : “Jika kamu khawatir keduanya (suami-istri) tidaj dapat menjalankan hokum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang pembayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya. (QS.4:229).
Sebagai imbangan juga ada hadits yang juga melarang suami menjatuhkan talak,misalnya yang mengatakan abgat al-halal ‘indallahi at-talaq ( HR. Abu Daud). (perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq). La’ana al allahu kulla midwaq wa mitlaq (HR. At-Tirmizi). (Allah melarang kepada setiap suami yang suka mencicipi dan menceraikan.
Hukum talaq dan hikum khulu ada empat menurut para ulama, yaitu :
1. Wajib, jika pasangan tidak mungkin lagi melakukan rekonsiliasi.
2. Mandub (sunah), seperti seorang suami tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibanya, atau istrinya selingkuh.
3. Haram, seperti menjatuhkan talakan talak ketika istri sedang haid atau pada waktu suci yang telah dijimak sebelumnya.
4. Makruh, jika menjatuhkan talaq selain dari kondisi yang tiga tersebut diatas.

F. Intervensi Malaikat Dalam Hubungan Seksual
Hadits yang menyatakan istri akan dilaknat malaikat jika ia menolak atau menghindar bila diajak berhubungan seksual dengan suaminya atau meninggalkan tempat tidur suaminya, mempunyai sanad yang sahih. Tapi secara harfiah matan hadits dipahami secara secara tekstual bertentangan dengan semangat Al-Qur’an.
Hadits tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual ada kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan cultural yaitu budaya pantang ghilah yang ada dikalangan bangsa arab sebelum itu. Ghilah adalah bersetubuh dengan istri yang sedang hamil atau menyesui, karena dikhawatirkan akan menimbulkan hal buruk terhadap anak yang akan di lahirkan. Dengan alasan ini laki-laki boleh berpoligami dengan tanpa batasan. Dan datanya islam membawa aturan poligami dengan pelaksanaan harus adil. Karena itu jika pantang ghibah tetap dipertahankan sementara poligami tidak bebas maka ini akan sangat berat bagi mereka. Jadi hadits ini untuk mengatasi kesulitan-kesulitan lelaki bangsa arab dan untuk menghilangkan budaya pantang ghilah pada wanita arab zaman dulu.
Menurut ahli fiqih, seks bagi perempuan banyak diajarkan sebagi kewajiban, hal ini terkait dengan pandangan konvensional masyarakat traditional-agraris bahwa seks adalah barang suci/sacral yang diciptakan tuhan untuk unttuk menjamin keturunan. Sedangkan bagi masyarakat kota seks bagi perempuan selain untuk reproduksi juga untuk dinikmati karena itu merupakan salah nikmat tuhan.
Dan menurut madzab syafi’I pernikahan merupakan sebuah kontrak kepemilikan sehingga suami adalah pemilik sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh si istri.
Berdasarkan kesimpulan dari berbagi hadits yang membahas tentang hal ini bahwa :
- melayani kebutuhan seksual suami adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda, ia hanya dapat menolak jika dalam keadaan haid dan nifas, namun tidak boleh menjauhinya Karena suami pun juga berhak untuk mecumbunya.
- Seks adalah hak suami dan kewajiban istri. Oleh karena itu kapan pun dan dimana pun istri harus melayani suami .
- Jika ia menunda atau menolak maka ia akan rugi dan celaka dunia maupun akherat.
Namun para ulama menyarankan agar tidak memahami semua ini secara harfiah, mereka mengatakan bahwa laknat malaikat akan terjadi jika :
- penolakan istri dilakukan dengan tanpa alasan,
- Selagi istri dalam keadaan longgar dan tidak dalam keadaan ketakutan.
- Jika istri tidak terangsang, maka ia boleh menawarnya atau menyungguhkannya sampai batas waktu tiga hari.
Bagi istri yang sedang sakit tidak wajib melayani ajakan suaminya sampai sakitnya hilang. jika tetap memaksa maka ia bertentangan dengan mu asyrah bi al-ma’ruf , dengan berbuat aniyaya pada pihak yang mestinya dilindungi.

Alternative pemikiran
1. Analisis bahasa
Laknat malaikat akan benar-benar tejadi pada istri jika ketika sang suami sudah mengajaknya dengan penuh kesopanan, tidak memaksa dan penuh dengan pengertian.
2. Pendekatan fiqh
Laknat malaikat akan benar-benar tejadi pada istri jika menolak berhubungan seksual dengan tidak sopan, dn seperti iblis bahkan tanpa alasan syar’I (haid dan nifas). sedangkan suaminya sudah mengajaknya dengan baikdan dengan bahasa dakwah, hal ini juga berlakau pada suami.
3. Kondisi fisik dan psikologis
4. Menurut penelitian,
- nafsu seksual wanita lebih tingi dari pada laki-laki, menurutnya Allah menciptakan social itu sepuluh bagian, Sembilan bagian untuk wanita dan satu bagian untuk laki-laki.
- Dorongan seksual laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan ketika berumur sekitar 17-24 tahun. Dan perempuan mendapat dorongan seksual tingi setelah melahirkan.
- Hasrat berjimak laki-laki banyak berkaitan dengan fisiologisnya, karena laki-laki menimbun sperma ketika ada gejolak. Sehingga menuntut untuk terpenuhi atau tersalurkan dengan segera. Sedangakan hasrat berjimak perempuan lebih banyak bersumber pada kebutuhan psikisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang dicintainya.
5. Makna dari laknat malaikat
- Sebenarnya hadits yang membahas tentang hal ini, batasan malaikat untuk melaknat hanya sebentar, yaitu sampai ketika tiba salat subuh.
- Hadits yang membahas tentang hal ini perlu di integrasikan dengan al-Qur’an yang berbicra tentang seksualitas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya mau minta saran....

Saya adalah seorang suami yang telah berkeluarga selama 15 tahun. Dalam perkawinan saya, saya telah berzina dengan banyak wanita termasuk dengan kakak ipar saya, orang kantor tempat saya bekerja dan tempat lain.
Saya sudah ketaun beberapa kali dengan istri saya dan akhirnya dia menolak untuk berhubungan badan dengan saya.
Yang saya mau tanyakan :
1. Apakah istri saya berdosa karena tidak melayani saya sedangkan setau saya ada ayatnya untuk tidak boleh menolak suami?

2. Apakah saya boleh memaksanya?

3. Apakah hak istri kepada suami bila suaminya sudah bermain dengan wanita lain?

Terima Kasih.

Posting Komentar